Manfa'at Dunia Akherat: HERPES GENETALIS PADA IMUNOKOMPROMAIS

Tuesday, December 21, 2010

HERPES GENETALIS PADA IMUNOKOMPROMAIS


Pendahuluan
Infeksi herpes simpleks adalah kelainan pada daerah orolabial (herpes orolabialis) serta daerah genital dan sekitarnya (herpes genetalis) yang disebabkan oleh Herpes simplex virus (HVS) dengan gejala khas berupa vesikel berkelompok diatas dasar eritema, dan bersifat rekurens. Diantara kedua bentuk klinis infeksi herpes ini, herpes genitalis merupakan salah satu penyakit menular seksual yang perlu mendapat perhatian. Hal ini disebabkan karena sifat penyakitnya yang sukar disembuhkan dan sering bersifat rekurens. Selain itu penyakit ini juga menjadi masalah karena transmisi virus dapat terjadi dari penderita yang asimtomatik, pengaruhnya terhadap kehamilan dan bayi/janin dalam kandungan, pengaruh pada penderita imunokompromais, dapak kejiwaan, serta kemungkinan timbulnya resistensi virus.
Imunokompromais adalah suatu keadaan menurunnya status imun seseorang baik status imun hormonal atau seluler, atau keduanya hingga berakibat sangat rentan tehadap infeksi. Keadaan Imunokompromais ini ditemukan pada orang ta, penderita yang mendapat erapi sitostatik/radioterapi, penerima transplantasi sumsum tulang, transplantasi organ, penderita dengan infeksi HIV, penyakit Hodkins, leukemia, limfoma atau dengan keganasan lain. Karena status imunnya berbeda dengan imunokompeten, maka penatalaksanaan infeksi herpes genetalis pada keadaan imunokompromais juga berbeda, termasuk pada wanita hamil.

Etiologi
Herpes genetalis terutama disebabkan oleh herpes simpleks tipe 2 (HSV-2). Tergantung dari cara berhubungan seksual maka herpes genital dapat disebabkan ole HVS-1, sebaliknya herpes labialis juga dapat disebabkan oleh HSV-2. Pada penelitian sero-epidemiologik terhadap antibodi HSV-2 sulit untuk dinilai oleh karena terdapat reaksi silang antara respons imun humoral HSV-2 dan HSV.
Dari data yang dikumpulkan WHO dapat ditarik kesimpulan bahwa antbodi terhadap HSV-2 rata-rata baru terbentuk setelah adanya aktivitas seksual. Pada kelompok remaja didapatkan kurang dari 30%, pada kelompok di atas umur 40 tahun naik sampai 60%, dan pada pekerja seks wanita (PSK) ternyata antibodi HSV-2 sepuluh kali lebih tinggi daripada orang normal.

Epidemiologi
Secara umum risiko mendapatkan infeksi herpes genetalis dapat dihubungkan dengan beberapa hal :
-         Keaktifan seksual yang bertambah
-         Umur muda pada saat pertama kali melakukan hubungan seks
-         Kenaikan umur penderita
-         Bertambahnya jumlah partner seks secara bermakna.

Patogenesis
Pada keadaan imunokompeten bila seseorang terinfeksi HSV, maka manifestasinya dapat berupa episode I (lesi inisial) infeksi primer, episode I (lesi inisial) non-primer, lesi rekurens, asimtomatik atau terjadi infeksi yang tidak khas (atipik). Sedangkan pada kedaan imonokompromais lesi inisial (lesi primer) jarang terjadi, lebih sering berupa lesi rekuren atau atipik. Pada episode I lesi primer, virus yang berasal dari luar, masuk ke dalam tubuh hospes. Terjadi penggabungan dengan DNA hospes di dalam tubuh hospes tersebut, kemudian mengadakan multiplikasi/replikasi, serta menimbulkan kelainan pada kulit. Pada waktu itu hospes sendiri belum ada antibodi spesifik, sehingga dapat mengakibatkan timbulnya lesi pada daerah yang luas dengan gejala konstitusi berat. Selanjutnya virus menjalar melalui serabut saraf sensorik ke ganglion saraf regional (ganglion sakralis), dan berdiam di sana serta bersifat laten.
Pada episode I non-priomer, infeksi sudah lama berlangsung tetapi belum menimbulkan gejala klinis, tubuh sudah membentuk zat anti sehingga pada waktu terjadinya episode I ini kelainan yang timbul tidak seberat episode I dengan infeksi primer.
Pada keadaan laten bila suatu waktu ada faktir pencetus (trigger factor), virus akan mengalami retrivasi dan multiplikasi kembali sehingga terjadilah lesi rekurens. Pada saat itu di dalam tubuh hospes sudah ada antibodi spesifik sehingga kelainan yang timbul dan gejala konstitusinya tidak seberat waktu infeksi primer. Rekurensi pada imunokompromais walaupun penderita sudah mempunyai antibodi spesifik terhadap HSV akan tetapi karena keadaan status imun yang menurun antibodi tersebut tidak dapat memberikan pertahanan, sehingga gejala yang timbul akan lebih berat bahkan lebih berat dibandingkan dengan lesi primer yang terjadi pada waktu keadaan imunokompeten.

Gejala Klinis
Manifestasi klinis dapat dipengaruhi oleh faktor hospes termasuk status imun penderita, pajanan HSV sebelumnya, episode terdahulu, dan tipe virus. Masa inkubasi umumnya berkisar antara 3-7 hari, tetapi dapat lebih lama. Gejala yang timbul dapat bersifat berat, tetapi juga asimtomatik terutama bila lesi ditemukan di daerah serviks. Pada penelitian retrospeksi 50-70% infeksi HSV-2 adalah simtomatik.
Beberapa jam sebelum timbulnya lesi biasanya didahului rasa terbakar dan gatal di daerah lesi yang terjadi. Setelah lesi timbul dapat disertai gejala konstitusi seperti malaise, demam dan nyeri otot. Lesi pada kulit berbentuk vesikel berkelompok dengan dasar eritem. Vesikel ini mudah pecah dan menimbulkan erosi multipel. Masa pelepasan virus (viral shedding) terjadi kurang lebih 12 hari. Masa viral shedding ini sangat menentukan potensi penularan dan pengambilan bahan sediaan untuk pemeriksaan biakan. Tanpa infeksi sekunder, penyembuhan terjadi secara bertahap dalam waktu kurang lebih 18 sampai 20 hari tetapi bila ada infeksi sekunder penyembuhan memerlukan waktu lebih lama dan meninggalkan jaringan perut.
Lesi rekuren dapat terjadi dengan cepat atau lambat, sedangkan gejala yang timbul biasanya lebih ringan, karena telah ada antibodi spesifik dan penyembuhan juga akan lebih cepat, viral shedding berlangsung kurang lebih 5 hari. Sebagaimana telah disebutkan diatas, lesi inisial dan rekurens dapat juga berlangsung tanpa gejala. Hal ini dapat dibuktikan dengan ditemukannya antibodi terhadap HSV pada orang tanpa riwayat penyakit herpes genetalis sebelumnya.
Terdapatnya antibodi terhadap HSV-1 menyebabkan infeksi HSV-2 lebih ringan. Hal ini memungkinkan infeksi inisial HSV-2 berjalan asimtomatik pada penderita yang pernah mendapat infeksi HSV-1. Penelitian terakhir membuktikan bahwa rekurensi HSV-2 lebih sering terjadi daripada HSV-1. Umumnya paa tahun pertama setelah lesi inisial rekurensi terjadi lebih sering (4-5 kali), dan untuk tahun berikutnya lebih jarang.
Disamping itu dikenal juga istilah asimtomatik, berupa keadaan tanpa gejala atau terdapat gejala namun sukar diketahui lokasinya (misalnya di serviks), akan tetapi pada pemeriksaan serologi didapatkan antibodi HSV, dan keadaan ini ditemukan pada ± 20% kasus.
Juga dikenal lesi atipik (± 60%) dengan gambaran lesi yang tidak khas sehingga tidak di duga sebagai genetalis, tetapi pada pemeriksaan serologi didapatkan antibodi HSV. Keadaa asimtomatik dan atipik ini berpotensi untuk transmisi virus khususnya pada saat viral shedding.
Pada keadaan imunokompromais kelainan yang ditemukan cukup progresif berupa ulkus yang dalam di derah orolabial atau anogenital baik berupa lesi episode I atau dalam keadaan rekurensi, sehingga skar dikontrol dengan terapi standar.
Sering ditemukan les satelit dan biasanya viral shedding juga berlangsung lebih lama. Daerah dengan replikasi HSV-1/2 tersering adalah perirekat, orofasial, orogenital dan jari-jari, sehingga spektrum infeksi HSV dapat berupa :
-         Infeksi perianal
-         Herpes anogenital
-         Proktitis
-         Perioral/ fasial herpes
-         Kunjungtivitis/ keratitis
-         Aseptik meningitis / esepalitis
-         Herpetik withlow
-         Infeksi pada organ dala seeprti paru-paru, esofagus, adrenal, hear, pankreas, usus kecil, usus besar dan ginjal.
Pada infeksi HIV biasanya asikovir masih sensitif, akan tetapi pada imunokompromais lesi rekurens lebih sering terjadi (95%), dengan gejala yang lebih berat, lebih lama, dan berpotensi untuk terjadinya infeksi secara diseminata.
Pada lebih dari 70% penerima transplantasi sumsum tulang dan ginjal dengan riwayat seropositif HSV ternyata mengalami rekurens dalam masa 1 bulan setelah transplantasi. Reaktivitasi tersering adalah pada lesi di rongga mulut (85%), genital (10%), orogenital (5%). Lesi pada mukosa rongga mulut biasanya berat dan mudah terinfeksi bakteri/jamur, sehingga sering ditemukan esofangitis oleh karena jamur.
Frekuensi reaktivasi HSV pada keadaan imunokompromais berbeda-beda, contohnya pada resipien transplantasi sumsum tulang seropositif (70-82%), leukemia akut dengan kemoterapi (60-70%) dan limfoma (50%). Waktu penyembuhan lesi rekurensi juga berbeda antara imunokompeten (7-10 hari) dengan imunokompromais (28-43 hari). Kadang-kadang juga ditemukan lesi atipik.
Hubungan antara infeksi HSV dan infeksi HIV dapat terjadi dalam beberapa kemungkinan :
1.      Infeksi HIV menimbulkan keadaan imunokompromais, hal ini menyebabkan rekurensi episodik infeksi HSV lebih sering.
2.      Infeksi HSV sendiri memudahkan untuk terjadinya infeksi HIV.
3.      Reaktivitas infeksi HSV juga memudahkan replikasi HIV.
Secara epidemiologi infeksi HSV meningkatkan transmisi HIS 5-9 kali. Oleh karena itu penanganan infeksi HSV pada penderita dengan HIV perlu perhatian khusus.
Dari beberapa penelitian ternyata lebih dari 90% orang dengan infeksi HIV juga terinfeksi dengan HSV-1/2 atau keduanya. Seringnya terjadi viral shedding pada HSV berkaitan dengan rendahnya CD-4 penderita HIV (< 200/mm). Pada penderita HIV dengan CD-4 < 200 ternyata 2,5 kali lebih sering ditemukan reaktivasi HSV dibandingkan dengan CD-4 > 500/mm.
Oleh karena itu bila ditemukan infeksi HSV dalam bentuk: 1) infeksi yang berat, 2) sering rekurens, dan 3) timbul lesi pada tempat yang biasa atau multi fokal, perlu dipikirkan adanya keadaan imunokompromais.

Pemeriksaan Laboratorium
Penanganan kasus herpes genetalis, dimulai dengan menegakkan diagnosis, yang bila memungkinkan ditunjang dengan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis klinis ditegakkan dengan adanya gejala khas berupa vesikel berkelompok dengan dasar eritem, dan bersifat rekurens.
Pemeriksaan laboratorium paling sederhana adalah tes Tzank diwarnai dengan pengecatan Giems atau Wright, akan terlihat sel raksasa berinti banyak. Sensivitas dan spesivitas pemeriksaan ini umumnya rendah.
Pada pemeriksaan langsung dengan mikroskop elektron, hasilnya sudah dapat dilihat dalam waktu 2 jam, tetapi tidak spesifik, karena dengan teknik ini jenis virus herpes tidak dapat dibedakan.
Cara yang paling baika dalah dengan melakukan kultur jaringan, karena lebih sensitif dan spesifik dibandingkan cara-cara lain. Bila titer virus dalam spesimen cukup tinggi, maka hasil positif dapat dilihat dalam spesimen cukup tinggi, maka hasil positif dapat dilihat dalam jangka waktu 24-48 jam. Pertumbuhan virus dalam sel ditunjukkan dengan terjadinya granulasi sitoplasmik, degenerasi balon, dan sel raksasa berinti banyak. Namun cara ini memiliki kekurangan dalam lamanya waktu pemeriksaan dan biaya yang mahal.
Untuk kasus dengan imunokompromais pemeriksaan dengan cara kultur ini paling dianjurkan mengingat sebagian besar kasus dengan gejala yang tak khas dan juga jumlah virus lebih banyak ditemukan.
Masih ada sejumlah tes untuk mendeteksi antigen HSV dengan harapan diagnosis lebih cepat ditegakkan dibandingkan dengan kultur. Tes ini dilakukan secara imunologik memakai antibodi poliklonal atau monoklonal, misalnya teknik pemeriksaan imunofluoresensi, imunoperoksidase, dan ELISA. Deteksi antigen secara langsung dari spesimen sangat potensial, cepat dan dapat merupakan deteksi paling awal pada infeksi HSV.
Pemeriksaan imunoperoksidase tak langsung dan imunofluoresensi langsung memakai antibodi poliklonal memberikan kemungkinan hasil positif palsu dan negatif palsu. Dengan memakai antibodi monoklonal pada pemeriksaan imunofluoresensi, dapat ditentukan tipe virus. Pemeriksan imunofluoresens memerlukan tenaga yang terlatih, dan mikroskop khusus. Pemeriksaan antibodi monoklonal dengan cara mikroskopik imunofluoresen tak langsung dari kerokan lesi, sensivitasnya 78% sampai 88%.
Pemeriksaan imunoperoksidase tak langsung dan imunoflouresensi langsung memakai antibodi poliklonal memberikan kemungkinan hasil positif palsu

No comments:

Post a Comment